Kamis, 05 Mei 2011

Pusara Putih

Aku terbangun saat tengah malam dengan bulir keringar di kening. Kuusap keringat itu dengan jemari dingin yang gemetaran. Mimpi ini terus mendatangiku sejak aku masuk SMA, tepat setengah tahun yang lalu. Mimpi yang selalu membuatku terbangun di tengah malam, yang membuat jantungku terasa begitu sakit. Dan malam ini, aku terus memikirkan mimpiku. Seorang gadis cilik rapuh yang menangis. Aku terus memikirkan mimpi itu sampai akhirnya aku kembali tertidur.
            Senin yang cerah, sungguh awal yang indah untuk memulai pagi ini, kalau saja aku tak selalu bermimpi buruk. Dan pagi ini, jantungku berdesir aneh ketika aku tanpa sengaja melihat seseorang di gedung kelas XI, seorang cowok yang sedang berdiri di koridor lantai tiga. Sepertinya dia sedang melamun, terlihat dari posisi berdirinya yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang yang sedang melamun.
            Aku memegangi dadaku, tempat jantungku berada. Jantungku terasa sangat sakit dan berdetak sangat kencang. Saking kencangnya sampai terasa seperti hendak menyeruak keluar dari tubuhku, begitu menyiksa. Rasanya aku hampir mati saking sakitnya ketika pandangan kami bertemu. Aku tak kuat lagi. Aku memalingkan muka dan berlari ke kelas.
            “Kau baik-baik saja Clar?” tanya Kelvin ketika aku sampai di puncak tangga gedung kelas X. Terlihat dari raut wajahnya dia sangat khawatir dengan kondisiku sekarang. Tentu saja begitu. Dia pacarku.
            “Aku hanya kelelahan,” jawabku sedikit ketus. Dia hanya diam pasrah tak berniat bertanya lagi.
            “Clara, kalau kau memang kurang sehat sebaiknya ke UKS aja, tak usah ikut upacara,” celoteh Chika yang sejak tadi terus berkomentar dengan kondisiku yang semakin memburuk setiap harinya. Dia memang teman sebangkuku yang paling cerewet sedunia. Aku menjawabnya dengan gelengan pelan, dan dia hanya menghembuskan napas kuat-kuat, terlihat sekali sengaja dibuat-buat.
            Saat upacara, jantungku seringkali seperti genderang perang yang terus berusaha menyakitiku. Aku memandang langit di atas sana, tak berawan, begitu biru. Sinar mentari membuatku merasa hangat, mengobati dinginnya semilir angin lembut yang membelai setiap bagian tubuh mungilku. Kicauan burung camar seperti ingin mengalahkan merdu alaunan paduan suara pagi ini.
            Dan kini aku memandang sekeliling, lagi-lagi jantungku teramat sakt ketika tanpa sadar aku kembali melihat kakak kelas XI. Tubuhnya tinggi atletis, tampan, dan menurutku, sempurna. Tapi terus memandangnya membuat jantungku semakin menggila, dan kini pandanganku mulai kabur. Hal terakhir yang bisa kuingat adalah jeritan Chika ketika melihatku roboh tak berdaya.
            “Clara? Kau sudah sadar?” Suara Chika membuat telingaku berdenging saking kerasnya.
            Aku berani bertaruh, kalau tempat ini pasti rumah sakit. Teringat apa yang membuatku terbaring lemas, aku mulai meneteskan air mata yang sudah berusaha kubendung. Chika memelukku erat-erat, dia berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Setelah dibujuk keras oleh Chika akhirnya aku menceritakan kepadanya tentang mimpi-mimpi yang meresahkanku dan tentu saja tentang kakak kelas yang membuatku sekarang berada di rumah sakit ini.
            “Aku pikir kau jatuh cinta padanya.” Itu tanggapan Chika yang membuatku mual, bukan itu jawaban yang ingin kudengar sekarang.
            “Aku tak mungkin mencintainya, aku tahu rasanya jatuh cinta, Chik. Aku mencintai Kevin, kau tahu itu kan? Dan aku yakin ada yang tidak beres,” kataku tegas, sedikit marah, mengetahui takkan ada yang mengerti dengan apa yang menimpaku sekarang.
            Perdebatan kami berakhir ketika orangtuaku dan dokter Helmi masuk mendekat. Mereka tampak begitu cemas sekaligus bahagia mengetahui aku sudah siuman. Chika langsung pamit dan berharap aku cepat sembuh. Aku hanya tersenyum tipis padanya.
“Masih ada keluhan, Clara manis?” tanya dokter Helmi tersenyum ramah. Masih seperti dulu, dokter muda yang tampan. Kulihat tangan  kirinya membawa kotak cokelat tua seukuran buku tulis.
            “Aku baik-baik saja,Dok,” jawabku pelan sambil memberi kode dengan mata memelas.
            Dokter Helmi mengerti maksudku. Dia berdeham kecil kemudian berkata “Sepertinya saya harus berbicara berdua saja dengan putri kalian,” ujar dokter Helmi kalem, orangtuaku menyerngit mendengarnya. “Sebentar saja, kok,” buru-buru dokter Helmi menambahkan.
            Setelah orangtuaku keluar, dokter Helmi menceritakan segala hal yang dia ketahui tentang jantungku. Air mataku membanjiri pipi mendengarnya. Sampai kemudian dia memberiku kotak yang sejak tadi di bawanya, kotak yang sangat usang. Aku membuka kotak itu. Beberapa menit kemudian aku bisa mengerti semuanyadengan jelas. Walaupun setelah tahu air mataku kembali meleleh, aku mengangguk mantap pada dokter Helmi. Dia tersenyum dan ngacak rambutku sebelum akhirnya meninggalkanku bersama kotak cokelat usang.
            Malam harinya Kevin datang menjengukku di rumah sakit. Dan malam itu, saat hanya ada aku dan Kevin, aku pun mulai bercerita. Menceritakan semua hal yang kini aku ketahui, tanpa terkecuali. Dia hanya mengangguk pelan penuh pengertian.
            Butuh waktu tiga hari sebelum akhirnya aku di perbolehkan meninggalkan rumah sakit. Keesokan harinya, sepulang sekolah, seorang diri aku mendatangi kakak kelas yang membuat jantungku begitu menderita. Begitu pula sekarang, jantungku sakit bukan main. Cowok itu bernama Rio, cowok terpopuler di SMA-ku. Saking kupernya, aku bahkan tidak tahu kalau dia adalah murid populer.
            Hal pertama yang kulakukan adalah memperkenalkan diriku sambil meringis menahan sakit di dada, membuat tubuhku mati rasa. Kemudian aku memintanya menemaniku ke suatu tempat yang kurahasiakan. Awalnya dia menolakku mentah-mentah, mengira aku hanya ingin mengerjainya atau semacam itulah. Tapi setelah melihatku menangis dan kesungguhanku memohon, akhirnya dia mempercayaiku.
            Kami pun tiba di tempat yang kujanjikan padanya. Tempat yang hening dan muram. Dedaunan kering berkejaran ke sana ke amri bersama tiupan angin musim panas. Aku berhenti di sebelah pusara putih. Aku harus bisa menyelesaikan semuanya, walau sekarang jantungku terasa seperti di remas-remas oleh tangan berduri, sakit sekali rasanya.
            “Apa maksudmu membawaku ke kuburan?” tanya Rio kesal, dia melototiku sekarang.
            “Kau ingat Reini? Mantan pacarmu di SMP yang kau tinggalkan saat kau mulai menjadi cowok populer?” Pertanyaanku membuatnya terdiam kaku.
            Aku melanjutkan ceritaku. “Sejak bayi jantungku cacat dan aku membutuhkan donor jantung agar bisa hidup lebih lama. Saat itu aku kelas satu SMP, Reini kecelakaan. Dia memutuskan memberikan jantungnya pada siapa saja yang membutuhkan. Dia sangat putus asa saat itu karenamu. Dan sungguh sebuah mukjizat untukku karena ternyata jantungnya cocok dengan jantungku. Itulah sebabnya setiap aku melihatmu, jantung Reini selalu berdesir menyakitiku. Dia masih sangat mencintaimu.” Aku berhenti berbicara, menghela napas dan memberi Rio kotak cokelat yang kuterima dari dokter Helmi. Isinya catatan harian Reini.
            Aku menarik napas dalam-dalam sambil terus menahan kesakitan. “Dan aku ingin menyampaikan sesuatu padamu mewakili Reini yang masih ada di jantungku ini. Aku sangat mencintaimu, Rio. Dan akan terus begitu sampai kapan pun.” Aku terus memegangi dada menahan kesakitan yang sejak tadi menyerang.
            Aku sudah tak kuat lagi, dan Rio menyadarinya. Dia spontan mencium keningku sambil berkata, “Reini, tanpa kau pernah tahu, hatiku tak pernah terganti oleh siapa pun. Aku tak pernah jatuh cinta pada siapa pun kecuali padamu, aku tak pernah merindukan seseorang sebesar aku merindukanmu. Bodohnya aku telah menyakitimu. Aku minta maaf untuk semuanya. Aku sungguh menyesal Reini, dan sekarang kumohon, istirahatlah dengan tenang dan jangan kau biarkan jantungmu menyakiti orang lain. Aku akan mencintaimu selamanya, Reini.”
            Kata-kata Rio menjinakkan jantungku, perlahan aku tak merasakan sakit lagi di dada.aku mencubit tanganku, memastikan aku tak sedang bermimpi. Dan ini memang nyata, aku sungguh tak percaya.
            Tapi aku lega sekarang, setidaknya jantungku tak membuatku merasa kesakitan lagi. Dan ini bukti kalau aku tak pernah mencintai Rio. Aku tersenyum bangga pada Rio, yang ternyata baru sadar kalau dirinya berada di sebelah makam Reini. Dia langsung berjongkok dan menangis tersedu. Sedikit aneh melihat seorang cowok menangis begitu keras.
            Aku berjalan menjauhi Rio, mengikuti jalan setapak kering. Daun-daun membuat suara gemerisik saat aku menginjaknya. Air mataku kembali jatuh saat aku teringat puisi Reini.
            Benang-benang cinta yang pernah ada karenamu
            Kini membakar dadaku
            Menambah sakit dan sesak jantungku
            Tuhan, aku tahu aku harus berdiri lagi
            Menutup luka ini dengan tanganku sendiri
            Tapi, dadaku masih terasa sesak

(Oleh : Titi Setiyoningsih, Kawanku Magazine)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar